Di sebuah
kota pelabuhan yang ramai tinggallah seorang anak perempuan yatim piatu. Gadis
namanya. Ayah dan ibunya meninggal dunia ketika ia masih kecil. Sejak itu Gadis
tinggal bersama bibinya. Namum bibinya sangat kasar kepadanya. Gadis amat
sedih. Akan tetapi ia mencoba tabah dan sabar.
Gadis adalah
anak yang rajin. Ia berusaha mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik. Salah
satunya adalah mengambil air dari sumur. Letak sumur itu sangat jauh dari
rumah. Untunglah di tengah jalan ada sebatang pohon tua yang besar dan rimbun.
Gadis sering singgah di bawah pohon itu untuk melepas lelah.
Kadang-kadang,
Gadis menangis sedih di bawah pohon itu. Ia merasa sendirian di dunia ini. Ia
tak tahu harus mengadu kepada siapa. Diantara isak tangisnya, Gadis senantiasa
berdoa agar Tuhan menjaga dan menolongnya. Anehnya, setiap kali ia menangis,
pohon itu selalu mengembangkan ranting-rantingnya. Daun-daunnya bergerak dengan
lembut dan berirama. Desiran halusnya bagaikan nyanyian merdu. Gadis selalu
terpesona mendengarnya. Sehingga ia lupa akan kesedihannya. Bahkan sampai
tertidur. Bila ia tertidur pohon itu menundukkan ranting-ranting daunnya.
Supaya Gadis terlindung dari panas matahari. Jika Gadis terlalu lama tertidur,
pohon itu akan menjatuhkan daun-daunnya ke pipinya yang halus. Gadis jadi
terbangun karenannya.
Hari demi
hari pun berlalu.. Raja akan membuat sebuah kapal pesiar. Pohon-pohon tua yang
ada akan ditebang. Kayunya digunakan untuk membuat kapal. Gadis menjadi
gelisah, ia cemas kalau pohon tuanya akan turut ditebang.
Siang itu,
sepulang mengambil air dari sumur, Gadis singgah sejenak di bawah pohon tuanya.
Ia melihat tanda silang putih pada batang pohon itu. Berarti pohon
kesayangannya akan ditebang. Hati Gadis sedih sekali. Ia tidak bisa
berkata-kata. Air matanya mengalir deras. Tanggannya memeluk pohon yang
dikasihinya.
“Pohonku,
mungkin hari ini adalah hari terakhir perjumpaan kita. Esok mereka akan
menebangmu. Aku akan kehilangan satu-satunya teman yang kumiliki. Aku sedih
sekali. Tapi aku tak dapat mencegahnya. Selamat jalan pohonku,” isak Gadis.
Seperti
hari-hari yang lalu pohon itu kembali menundukkan ranting-rantingnya dan
daun-daunnya. Seolah-olah memeluk Gadis. Daunnya mengusap lembut pipi Gadis.
Tak terdengar nyanyian dari pohon itu.
“Jangan
sedih, anak manis. Kapal itu tak akan berlayar tanpa kehendakmu. Naiklah dan
ikutlah berlayar bersamanya kelak. Maka kita akan bersama-sama lagi,” bisik
pohon itu menghibur hati Gadis.
Esok pagi
pohon itu ditebang. Beberapa bulan kemudian selesailah kapal yang diinginkan
Raja. Sebuah pesta meriah diadakan saat kapal itu akan berlayar untuk pertama
kalinya. Namun ketika akan diluncurkan, kapal itu sedikitpun tak mau bergerak
meninggalkan dermaga. Penduduk mencoba mendorongnya. Namun kapal itu tetap tak
bergerak. Raja menjadi kecewa dan marah.
Berita
mengenai kapal yang tak mau bergerak itu akhirnya terdengar oleh Gadis. Ia
teringat pada pesan terakhir pohon tuanya. Dengan susah payah Gadis pergi ke
pelabuhan kota. Dan berhasil menemui Raja. Ia minta izin agar boleh melayarkan
kapal tersebut. Raja semula tak percaya. Tapi karena kapal itu tak mau
bergerak, akhirnya Raja mengizinkan. Gadis pun bergegas naik ke atas kapal.
Penuh rindu diusapnya anjungan kapal itu.
“Pohonku,
tolonglah aku. Bergeraklah, berlayarlah .. Seluruh penduduk kota ini ingin
menyaksikan engkau berlayar ke lautan lepas.”
Semua orang
berdebar menanti apa yang akan terjadi. Kapal itu bergerak sedikit demi
sedikit. Lalu lepaslah ia dari sandarannya. Dengan tenang ia melaju ke laut.
Penduduk kota bersorak gembira. Raja tak kurang pula gembira hatinya. Gadis
dipeluknya.
“Bagaimana
engaku bisa membuatkapal ini berlayar?” tanya Raja dengan takjub bercampur
heran.
“Berkat
rahmat Tuhan, Yang Mulia. Kebetulan kapal ini terbuat dari kayu pohon tua
sahabat saya, ” jawab Gadis dengan santun.
Kemudian
Gadis menceritakan seluruh kisah hidupnya kepada Raja. Hati Raja tersentuh.
Sejak itu Gadis tinggal di istana dan menjadi anak angkat Raja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar